Oleh:
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis
Karena kita semua butuh diingatkan, agar harapan tetap menyala, hati tak mudah rapuh, dan langkah tak kehilangan arah
Ada satu fase dalam hidup…
yang membuat kita lebih banyak diam daripada bicara.
Lebih sering mengingat… daripada merancang.
Dan mulai bertanya dalam hati:
“Apakah semua yang aku kumpulkan selama ini… masih bernilai di sisi-Nya?”
Usia mulai senja.
Panggilan kerja tak lagi sesering dulu.
Orang-orang tak lagi menyebut nama kita di forum-forum besar.
Yang dulu jadi kebanggaan, kini hanya jadi kenangan.
Saat itu tiba…
bukan jabatan yang kita butuhkan,
bukan pujian yang kita harapkan,
tapi ampunan.
Ceramah ini bukan sekadar pengingat.
Ini adalah tadzkirah dari hati seorang alim yang memahami:
bahwa kehidupan paling indah adalah saat kita bersiap untuk pulang dengan tenang.
🎧 Dengarkan perlahan…
karena kata-kata ini bisa jadi adalah cermin dari perjalanan hidupmu sendiri.
Tak peduli pangkat, keturunan, atau kekayaan.
Semua manusia punya “ending” yang sama: mati dan kembali kepada Allah.
Kehidupan dunia ini hanya ladang amal, bukan tempat menetap.
Allah memberikan misi yang sama untuk semua: “Berbuat amal sebanyak mungkin, dan menjauhi maksiat.”
Bahkan Nabi ï·º pun berdoa agar di akhir hidup bisa menjadi Muslim dan bersama orang saleh.
Terkadang yang membuat umat Islam lemah bukan karena musuh terlalu kuat. Tapi karena kita sendiri terlalu diam, terlalu sibuk dengan urusan pribadi, terlalu terbiasa dengan aman—hingga lupa kalau dunia di sekitar kita sedang terbakar.
Dalam khutbah Jumat yang tenang tapi menggetarkan ini, Prof. Dato’ Dr. MAZA (Mufti Perlis) mengajak kita semua berhenti sebentar… untuk merenung lebih dalam:
Kenapa umat Islam hari ini mudah dihina dan ditindas?
Apakah kita sudah sungguh-sungguh menolong agama Allah?
Dan, bagaimana seharusnya kita bersikap di tengah realitas umat yang terpecah dan tertindas?
Khutbah ini tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi menyentuh sisi yang sering kita hindari:
“Apa yang sudah kamu lakukan untuk Islam… selain mendoakan dan menggulirkan berita?”
Bacalah, dan jika bisa: dengarkan. Karena ini bukan khutbah biasa. Ini adalah seruan hati untuk kembali memikul amanah sebagai bagian dari umat yang Allah muliakan.
Setiap pergantian tahun hijriyah bukan sekadar penambahan angka.
Itu tanda bahwa kita makin jauh dari zaman Nabi ï·º, dan makin dekat ke akhir zaman.
Tapi walaupun Rasul telah wafat, beliau tinggalkan panduan yang lengkap untuk umat ini.
Di masa Abu Bakar, Umar, dan sahabat lain, Islam menguasai dunia: menumbangkan Romawi dan Persia.
Kini, umat Islam justru menjadi sasaran penindasan: di Gaza, Syria, Iraq, dan banyak tempat lain.
Bahkan saat umat dibantai, tidak banyak negara Muslim yang bisa berbuat apa-apa.
⚠️ Panggung Bisa Memukau, Tapi Hati yang Penuh Topeng Tak Akan Sampai ke Langit
Kita bisa berdiri di mimbar. Bisa bicara lantang atas nama dakwah. Bisa penuhi agenda penuh sorotan dan tepuk tangan. Tapi satu hal paling sulit — dan paling menentukan — bukan tentang siapa yang kita lawan. Tapi... siapa yang sebenarnya sedang kita layani: Allah, atau ego kita sendiri?
Dalam audio yang sangat jujur dan menggugah ini, dibuka sisi
yang jarang disentuh:
bahwa musuh terberat seorang dai, seorang pemimpin, bahkan seorang ulama…
adalah dirinya sendiri.
🔥 “Zuhud pada dunia
mudah. Tapi zuhud pada pangkat dan nama? Itu yang paling berdarah.”
🔥
“Kita ceramah, kita berjuang, kita aktif… tapi apakah itu semua betul-betul
Lillah? Atau sekadar demi pengakuan dan eksistensi?”
Kamu Mungkin Kuat di Luar. Tapi Apa Kabar Jiwamu di Dalam? Semua orang bisa berdiri gagah di depan manusia. Bisa lantang berdakwah. Bisa tampil seolah tahu segalanya. Tapi berapa banyak yang jujur melihat isi hatinya sendiri?
Dalam audio yang penuh kejujuran dan tamparan halus ini, seorang tokoh besar agama berbicara bukan tentang politik, bukan tentang hukum fikih, tapi tentang medan perang yang paling sulit dalam hidup: mengurus hati sendiri.
💥 "Jangan sombong
karena banyak ceramah. Bisa jadi, Allah tidak melihat apa pun dari itu."
💥
"Kamu hafal banyak hadis, banyak tampil di panggung. Tapi siapa tahu
semua itu cuma untuk nama, bukan untuk-Nya?"
Tujuan Pendidikan, Sebuah Sentuhan Nurani - Tadzkirah untuk Ayah Bunda
Di era yang penuh dengan target dan angka, mungkin tanpa sadar kita sedang memburu sesuatu yang… belum tentu bernilai. Nilai rapor naik. Ranking bagus. Lolos ke sekolah favorit. Tapi pernahkah kita bertanya:
Apakah ini benar-benar sukses… atau hanya terlihat sukses?
Ini adalah tadzkirah—sebuah sentuhan nurani. Untuk Ayah Bunda yang lelah mengejar, tapi takut berhenti. Untuk jiwa-jiwa yang ingin mendidik anak bukan hanya agar “berhasil”, tapi agar mereka menjadi pribadi yang selamat, selamat dunia… dan akhirat.
Jika hatimu pernah bertanya: “Apa tujuan sejati dari semua ini?” Maka, sempatkan telingamu untuk mendengarkan. 🌱 Karena bisa jadi, justru di antara kalimat-kalimat ini… tersimpan arah baru dalam cara kita mendidik dan mencinta. 🎧 Silakan dengarkan—dan biarkan hatimu yang menilai.
Oleh :
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis
🌪️ Ada yang hidupnya penuh harta, tapi hatinya sesak. Ada pula yang tinggal di rumah sederhana, tapi tidur malamnya penuh nyenyak. Mengapa bisa begitu?
Di tengah dunia yang penuh kebisingan, pencitraan, dan
ambisi tanpa henti, ada satu hal yang makin sulit ditemukan: ketenangan
sejati. Bukan sekadar sunyi. Bukan sekadar tidak ada masalah. Tapi ketenangan
yang membuat jiwa kita stabil meski dunia berguncang. Itulah yang disebut sakinah.
📜 Dalam audio ini, kita
tidak hanya membahas sakinah sebagai istilah Arab yang sering dijadikan nama
anak. Kita akan menggali dalam-dalam—apa sebenarnya arti sakinah dari
lisan para ulama besar, dari ayat-ayat Al-Qur'an, dari riwayat sahabat Nabi ï·º,
dan dari kisah nyata manusia-manusia yang menemukan kedamaian justru saat
kehilangan segalanya.
💥 Ini bukan motivasi kosong. Ini adalah serangan balik terhadap
kesalahpahaman besar umat manusia zaman ini: bahwa ketenangan bisa dibeli,
disusun dengan jabatan, atau ditumpuk lewat like dan pujian.
🌿 Maisun binti Bahdal:
Ketika Hati Seorang Istri Tak Tergoda oleh Istana
Tidak semua orang menganggap istana sebagai kebahagiaan.
Tidak semua perempuan bermimpi tentang kemewahan, pakaian indah, dan pujian
dalam singgasana.
Dalam kisah yang jarang dikisahkan ini, kita diajak
menyelami sosok Maisun binti Bahdal, seorang wanita Badui dari suku Bani
Kilab, istri dari Muawiyah bin Abi Sufyan—seorang khalifah besar dalam
sejarah Islam—dan ibu dari Yazid bin Muawiyah.
“Sholat Jalan, Doa Panjang, Tapi Hidup Tetap Hampa? Mungkin Masalahnya di Sini…”
Pernah merasa begini?
Kamu bangun, wudhu, salat, baca doa... tapi tetap saja
hidupmu hambar. Mudah marah, malas bergerak, berat untuk berbagi, dan selalu
merasa kurang walau sudah punya banyak.
Katanya hati sudah bersih. Tapi kenapa masih takut berkata
benar?
Katanya cinta Allah. Tapi sedekah dua ribu saja pelitnya minta ampun.
Katanya ikut sunnah. Tapi tiap hari tenggelam dalam berita artis dan omongan
kosong.
Realitanya, banyak orang tampak baik—tapi jiwa mereka
busuk.
Yang dibahas di sini bukan teori, bukan motivasi manis, tapi
fakta yang keras:
Dalam hiruk-pikuk kehidupan yang penuh dengan godaan harta,
pangkat, dan kedudukan, sering kali kita lupa pada sesuatu yang jauh lebih
bernilai—keberkatan dan keberadaan seorang pemimpin yang membimbing kita menuju
jalan yang lurus. Kisah ini bukan hanya sebuah cerita dari sejarah, tetapi
sebuah cerminan tentang bagaimana manusia, baik di masa lalu maupun sekarang,
sering kali terjebak dalam ilusi dunia yang fana.
Cerita ini membawa kita kembali ke saat pasukan Islam meraih
kemenangan besar di Peperangan Hunayn, di mana harta rampasan perang
melimpah ruah. Namun, di tengah euforia kemenangan, muncul perasaan tidak puas
hati di kalangan para Ansar—golongan setia yang telah mengorbankan segalanya
demi Nabi dan Islam. Mereka merasa dilupakan ketika harta rampasan perang
diberikan kepada golongan yang baru memeluk Islam. Perasaan ini, meskipun
difahami secara manusiawi, mencerminkan cabaran terbesar manusia sepanjang
zaman: memilih antara dunia yang sementara atau sesuatu yang kekal dan
bermakna.