Mufti Negeri Perlis
Dalam hiruk-pikuk kehidupan yang penuh dengan godaan harta,
pangkat, dan kedudukan, sering kali kita lupa pada sesuatu yang jauh lebih
bernilai—keberkatan dan keberadaan seorang pemimpin yang membimbing kita menuju
jalan yang lurus. Kisah ini bukan hanya sebuah cerita dari sejarah, tetapi
sebuah cerminan tentang bagaimana manusia, baik di masa lalu maupun sekarang,
sering kali terjebak dalam ilusi dunia yang fana.
Cerita ini membawa kita kembali ke saat pasukan Islam meraih
kemenangan besar di Peperangan Hunayn, di mana harta rampasan perang
melimpah ruah. Namun, di tengah euforia kemenangan, muncul perasaan tidak puas
hati di kalangan para Ansar—golongan setia yang telah mengorbankan segalanya
demi Nabi dan Islam. Mereka merasa dilupakan ketika harta rampasan perang
diberikan kepada golongan yang baru memeluk Islam. Perasaan ini, meskipun
difahami secara manusiawi, mencerminkan cabaran terbesar manusia sepanjang
zaman: memilih antara dunia yang sementara atau sesuatu yang kekal dan
bermakna.
Namun, di sinilah keindahan dan kebijaksanaan Nabi SAW bersinar terang. Dengan penuh kelembutan dan hikmah, baginda mengingatkan para Ansar tentang nikmat yang lebih besar daripada harta duniawi. Nabi SAW memberikan kepada mereka bukan sekadar kekayaan dunia, tetapi dirinya sendiri—komitmen, cinta, dan kehadiran baginda di tengah-tengah mereka.
Saat itu, air mata mengalir deras dari mata para Ansar.
Mereka menyedari bahawa apa yang mereka miliki jauh lebih berharga daripada
unta, kambing, atau perak sekalipun. Mereka memiliki Nabi SAW—pemimpin yang
menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Mengapa Kisah Ini Penting?
Kisah ini memberikan tiga pelajaran besar:
1. Keutamaan Keikhlasan dalam Berjuang: Harta dunia tidak sebanding dengan keberkatan dan cinta Allah serta Rasul-Nya.
2. Kepimpinan dengan Hikmah: Nabi SAW mengajar kita bagaimana mengatasi konflik dengan kelembutan dan kasih sayang, bahkan kepada mereka yang mungkin merasa terluka.
3. Prioriti Hidup yang Benar: Dunia sering kali mengalihkan perhatian kita dari tujuan akhir, tetapi kita harus terus mengingat bahawa kebahagiaan sejati hanya datang dari keimanan.
Cerita ini lebih dari sekadar sejarah. Ia adalah cermin
kehidupan kita saat ini. Apakah kita, di tengah hiruk-pikuk dunia dan kesibukan
mengejar kemewahan, masih mampu menempatkan iman dan cinta kepada Rasulullah di
atas segalanya?
“Ketika dunia menggiurkan, masihkah hati kita memilih
jalan bersama Rasulullah?”