📜 Teks Syair:
إني رأيت وقوف الماء يفسده
إن ساح طاب وإن لم يجر لم يطبِ
والأسد لولا فراق الأرض ما افترست
والسهم لولا فراق القوس لم يصبِ
والشمس لو وقفت في الفلك دائمةً
لَمَلَّها الناس من عجمٍ ومن عربِ
والتبر كالترب ملقى في معادنهِ
والعود في أرضه نوعٌ من الحطبِ
فإذا تغرّب هذا عزّ مطلبه
وإن تغرّب ذاك عزّ كالذهبِ
📌 Terjemahan Bahasa Indonesia:
Aku melihat air yang diam akan rusak,
Bila mengalir, ia menjadi jernih, jika tidak, ia akan busuk.
Singa, kalau tidak meninggalkan sarangnya, Tak akan bisa memangsa.
Anak panah, bila tidak meninggalkan busurnya, Tak akan pernah mengenai sasaran.
Matahari, bila terus diam di tempatnya,
Akan membosankan manusia, baik dari bangsa Arab maupun non-Arab.
Emas, bila tetap di tambangnya, Akan dianggap seperti debu.
Kayu gaharu di hutan hanyalah sekedar kayu biasa, Tapi bila dibawa keluar, ia jadi berharga.
Jika seseorang pergi merantau, Martabatnya akan meningkat.
Kalau kayu gaharu saja dibawa keluar jadi mahal, Apalagi manusia yang keluar mencari ilmu — ia seperti emas murni.
📌 Konteks Puisi: Puisi ini adalah motivasi Imam Asy-Syafi’i yang menegaskan bahwa diam di satu tempat itu membusukkan jiwa dan pikiran. Hanya dengan bergerak, berpindah, mencari pengalaman baru, dan menuntut ilmu di berbagai tempat, seseorang bisa memperkaya akal, memperhalus adab, dan meningkatkan derajatnya.
📝 Catatan Tambahan: Teks ini diakui sebagai bagian dari Diwan Imam Syafi’i, sebuah kompilasi syair-syair yang disandarkan kepada beliau. Meski ada perbedaan versi teks dalam beberapa manuskrip, substansinya konsisten: anjuran keras untuk merantau demi ilmu dan kemuliaan diri.
-----------------------------------------
Pernah merasa hidup begini-begini saja? Terjebak di lingkungan yang sama, pikiran yang itu-itu juga, padahal dunia luas tak terhingga? Kalau iya, mungkin sudah waktunya kita merenungi pesan yang tajam dari Imam Asy-Syafi’i:
"Aku melihat air yang tergenang akan rusak. Kalau mengalir, ia akan jernih. Kalau tidak, ia akan busuk."
Kehidupan itu serupa air. Ia harus terus mengalir, menjelajah, berpindah tempat, merasai ragam pengalaman — baru ia akan jernih, bermanfaat, dan memberi makna. Kalau hanya diam di tempat, tak berani keluar dari zona nyaman, kita sama saja dengan air yang lama-lama membusuk.
Kisah-kisah dalam sejarah Islam, mulai dari Imam Syafi’i, Ibn Hazm, hingga Al-Asma’i, membuktikan bahwa merantau dan kembara ilmu bukan sekadar hobi, tapi keperluan untuk memperluas wawasan, memperhalus adab, bahkan memperbaiki taraf hidup.
Lebih jauh, kita diingatkan tentang hakikat hijrah dalam Islam — bukan sekadar pindah fisik, tapi pindah ke tempat di mana agama, akhlak, dan kehidupan kita bisa lebih baik. Bahkan kadang, hidup di negeri non-Muslim bisa jadi lebih Islami dalam praktiknya dibanding negeri mayoritas Muslim yang penuh korupsi dan ketidakadilan.
Ingin tahu lebih lanjut? Simak ringkasan lengkap berikut — dan bersiaplah untuk terdorong mengevaluasi: Sudah sejauh mana aku bergerak?
📌 RINGKASAN POIN-POIN UTAMA
1️⃣ Puisi Imam Syafi’i tentang Pentingnya Merantau:
إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ
إِنْ سَاحَ طَابَ وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
Air yang diam membusuk. Bergeraklah! Tinggalkan tempat asal, bermusafirlah, karena di situlah ilmu dan pengalaman baru ditemukan.
2️⃣ Hidup Itu Harus Susah Dulu, Baru Nikmat
Lelah, penat, susah payah adalah bagian dari kenikmatan hidup. Siapa takut susah, siap-siap hidupnya hambar dan tak bermakna.
3️⃣ Ibarat Singa & Anak Panah
Singa takkan jadi garang jika hanya tinggal di sarang. Anak panah takkan mengenai sasaran jika tak dilepaskan dari busur. Begitulah manusia, harus berani keluar untuk berkembang.