ACARA WALIMAH, KARENA SUNNAH ATAU PAMER

Oleh:
Shahibus Samahah Dato Prof. Dr. MAZA
Mufti Kerajaan Negeri Perlis

  1. Salah satu perusak nilai-nilai baik dalam kehidupan manusia saat ini adalah ketika hal yang haram dipermudah, sementara yang halal justru dipersulit. Padahal Islam memerintahkan kita untuk menciptakan suasana atau iklim kehidupan yang mempersulit yang haram dan mempermudah yang halal. Inilah tanggung jawab pemerintah dan umat, yaitu menegakkan yang makruf dan mencegah yang munkar. Menegakkan yang makruf dilakukan dengan cara menganjurkan, mempermudah, dan membantu menuju kebaikan tersebut. Sementara mencegah yang munkar dilakukan dengan cara menghalangi, melarang, dan mempersulit jalan menuju kemungkaran. Namun, jika masyarakat saat ini justru mempersulit yang halal dan mempermudah yang haram, itu menjadi tanda bahwa kita telah jauh dari ruh syariat Islam yang hakiki, yang diturunkan oleh Allah s.w.t.

  2. Salah satu hal yang sering dipersulit adalah urusan pernikahan. Kesulitan dalam membangun rumah tangga ini kadang-kadang bermula dari keluarga hingga birokrasi pihak berwenang dalam urusan agama. Berbagai macam aturan dan prosedur yang rumit seringkali menyulitkan atau menunda keinginan pasangan untuk mendapatkan ‘kenikmatan seksual’ secara halal. Yang lebih menyedihkan adalah ketika kesulitan-kesulitan tersebut muncul karena adanya kepentingan-kepentingan luar yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan pasangan tersebut.
  1. Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah urusan kenduri pernikahan atau walimah. Kadang-kadang, walimah dijadikan ajang kesombongan orang tua atau keluarga, sehingga pernikahan ditunda untuk memungkinkan pesta besar-besaran demi menjaga “status atau nama keluarga.” Hal ini menyebabkan ada pasangan yang terpaksa menunda keinginan menikah selama setahun bahkan bertahun-tahun. Terlebih lagi jika keluarga membebankan seluruh biaya kepada calon pengantin. Akibatnya, calon pengantin harus menahan “nafsu seksual” hanya demi memenuhi keinginan keluarga untuk pamer.

Meskipun walimah dianjurkan, cukup dilakukan dengan kemampuan yang ada. Tidak harus menyembelih seekor lembu, memesan katering mahal, mengundang seluruh penduduk desa atau kota, atau mengajak semua teman. Seseorang dapat mengadakan walimah sesuai dengan kemampuannya. Seperti sabda Nabi s.a.w.:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

"Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

  1. Dalam pernikahan Rasulullah s.a.w. dengan Sofiyyah binti Huyyai, beliau menghidangkan tamar, susu kering (al-aqith), dan lemak (ghee) untuk para tamu. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim:

وَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيمَتَهَا التَّمْرَ وَالْأَقِطَ وَالسَّمْنَ

"Rasulullah s.a.w. menghidangkan tamar, susu kering, dan lemak untuk walimahnya (Sofiyyah binti Huyyai)."

Dalam riwayat lain disebutkan oleh Anas bin Malik:

شَهِدْتُ وَلِيمَتَيْنِ مِنْ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا أَطْعَمَنَا فِيهِمَا خُبْزًا، وَلَا لَحْمًا. فَمَهْ؟ قَالَ: الْحَيْسَ - يَعْنِي التَّمْرَ - وَالْأَقِطَ بِالسَّمْنِ


"Aku menghadiri dua kali walimah istri-istri Rasulullah s.a.w. Kami tidak makan roti atau daging." Lalu Anas ditanya, 'Jadi, apa yang kalian makan?' Jawab Anas, 'Tamar, susu kering, dan lemak.' (Riwayat Ahmad, hasan)

Dengan kata lain, tidak ada syarat bahwa walimah harus berupa hidangan besar atau mewah. Cukup sesuai dengan kemampuan seseorang. Jika hanya mampu menghidangkan laksa, bihun, atau mie, itu pun tidak masalah. Yang terpenting adalah pernikahan yang halal telah dilaksanakan.

Jangan seperti sebagian orang zaman dahulu, ketika anaknya mengutarakan keinginan untuk menikah, si ayah bertanya, “Kamu sudah punya lembu untuk kenduri belum?” Akibatnya, keinginan anak tersebut tertunda. Padahal anaknya ingin menikah dengan kekasihnya, bukan dengan lembu. Sepatutnya, si ayah bertanya, “Kamu sudah punya pasangan belum?” Itulah pertanyaan yang tepat. Lembu bukanlah salah satu rukun nikah.

  1. Lebih menyedihkan, ada yang sampai rela berhutang, menggadaikan barang berharga, hingga akhirnya menjadi beban setelah selesai acara pernikahan. Ada pula yang gagal atau bahkan lari dari kewajiban membayar utang kenduri, bahkan hingga pasangan yang menikah sudah memiliki anak. Semua ini berasal dari sikap ingin pamer atau menjaga status, yang akhirnya terjerumus pada perkara haram, yaitu enggan membayar utang. Padahal, jika tidak mampu, cukup adakan kenduri sesuai kemampuan diri. Lebih baik uang tersebut dikumpulkan untuk diberikan kepada pasangan guna memulai kehidupan baru mereka jika mereka membutuhkannya.

  2. Di zaman ini, ada pihak yang menjadikan walimah sebagai ajang pamer kekayaan untuk ditampilkan di media sosial, bersaing dengan pernikahan orang lain, atau meniru gaya kemewahan selebriti dan sejenisnya. Tidak salah menjadikan hari pernikahan itu istimewa, tetapi sesuaikanlah dengan kemampuan diri. Kehidupan yang baik setelah akad jauh lebih penting daripada kemegahan acara pernikahan yang justru menimbulkan masalah di kemudian hari.

  3. Ada juga majlis pernikahan yang dipenuhi dengan kesombongan dalam hal daftar undangan. Hanya orang-orang “berkelas” yang diundang, sementara saudara-mara, teman-teman, dan tetangga yang dianggap tidak setara ditinggalkan. Nabi s.a.w. bersabda:

بِئْسَ الطَّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى إِلَيْهِ الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang hanya mengundang orang kaya dan meninggalkan orang miskin.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

  1. Namun, jika seseorang memiliki kemampuan finansial yang besar, biaya besar untuk acara pernikahan tidak menjadi beban baginya, dan ia melakukannya dengan niat menunaikan sunnah walimah tanpa rasa sombong dan takabur, maka itu adalah nikmat yang Allah berikan kepadanya.