Oleh:
Kisah Nabi Musa a.s. Meninggalkan Mesir
Nabi Musa a.s. meninggalkan Mesir setelah terlibat dalam kejadian memukul seorang Qibti (Coptic) hingga meninggal dunia, dalam upaya menghalangi kezaliman perkauman terhadap Bani Israil. Peristiwa itu telah melebihi dugaan Nabi Musa a.s. dan merupakan sebuah kesalahan. Karena itu, beliau terpaksa melarikan diri menuju Madyan dalam kondisi yang sangat sulit.
Madyan yang dimaksudkan barangkali berada di wilayah Yordania, dan saya pernah beberapa kali mengunjungi tempat tersebut. Perjalanan dari Mesir ke Madyan sangat jauh, terlebih pada zaman tersebut. Tujuannya adalah agar tentara Firaun tidak dapat menangkapnya di sana.
Ketika sampai di Madyan, Nabi Musa a.s. menemukan sekumpulan penggembala yang sedang mengambil air dari sebuah telaga, sementara di dekat mereka ada dua gadis yang hanya menunggu tanpa ikut mengambil air. Jiwa Nabi Musa a.s., yang amat pantang melihat ketidakadilan atau kejanggalan, membuatnya bertanya kepada kedua gadis tersebut meskipun dirinya sedang sangat keletihan.
Al-Qur’an menceritakan kejadian ini:
وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلۡقَآءَ مَدۡيَنَ قَالَ عَسَىٰ رَبِّيٓ أَن يَهۡدِيَنِي سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ٢٢ وَلَمَّا وَرَدَ مَآءَ مَدۡيَنَ وَوَجَدَ عَلَيۡهِ أُمَّةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ يَسۡقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ ٱمۡرَأَتَيۡنِ تَذُودَانِۖ قَالَ مَا خَطۡبُكُمَاۖ قَالَتَا لَا نَسۡقِي حَتَّىٰ يُصۡدِرَ ٱلرِّعَآءُۖ وَأَبُونَا شَيۡخٞ كَبِيرٞ
(Maksudnya)
"Dan setelah dia (Musa a.s.) menuju ke negeri Madyan, dia berdoa, 'Mudah-mudahan Tuhanku menunjukkan kepadaku jalan yang benar.' Dan ketika dia sampai di telaga air Madyan, dia mendapati di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternak mereka), dan dia juga mendapati di sebelah mereka dua perempuan yang sedang menahan kambing-kambing mereka. Dia bertanya, 'Apa masalah kamu berdua?' Mereka menjawab, 'Kami tidak memberi minum (ternak kami) sehingga para penggembala itu selesai, dan ayah kami sudah sangat tua.'”
(Surah al-Qasas: 22-23).
Rintihan yang Indah
Nabi Musa a.s. tidak mampu melihat adanya unsur penindasan dan sikap tidak peduli terhadap orang yang lemah. Simpatinya terhadap dua gadis tersebut melebihi rasa letih yang dihadapinya pada saat itu. Dengan sisa tenaga yang ada, Nabi Musa a.s. membantu kedua gadis itu mendapatkan air. Dia membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Setelah selesai, kedua gadis itu pun pulang. Dalam keadaan yang sangat letih, Nabi Musa a.s. pergi ke tempat teduh dan berdoa dengan doa yang sederhana namun sangat mendalam maknanya.
Saya tidak tahu apakah mereka yang tidak memahami bahasa Arab bisa menikmati keindahan ungkapan sederhana itu atau tidak. Namun, saya akan mencoba menerjemahkannya dalam strukturnya. Saya ingin berbagi doa Nabi Musa a.s. ini dengan para pembaca, yang barangkali ada yang tidak menyadari keberadaannya ketika membaca Al-Qur’an, atau mungkin sudah tahu tetapi terlupa karena kesibukan hidup.
Padahal kita semua sering berada dalam situasi sulit yang membutuhkan doa seperti itu. Doa ini sangat menyentuh perasaan saya. Saya yakin Anda juga merasakan hal yang sama. Entah berapa banyak keadaan getir dan keresahan yang melanda hidup ini, doa ini menjadi salah satu ‘penyejuk hati’ dan pemberi harapan, sebuah jembatan yang menghubungkan ujian hidup dengan Tuhan Yang Maha Memiliki kehidupan.
Doa ini, jika dibaca dengan jiwa yang benar-benar berserah diri kepada Allah, akan mendatangkan ketenangan, bahkan sebelum pertolongan Allah datang. Firman Allah mengisahkan keadaan Nabi Musa a.s. dan doanya:
فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰٓ إِلَى ٱلظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَآ أَنزَلۡتَ إِلَيَّ مِنۡ خَيۡرٖ فَقِيرٞ
(Maksudnya)
"Maka Musa pun memberi minum kepada binatang-binatang ternak mereka berdua (dua gadis tersebut), kemudian ia pergi ke tempat teduh lalu berdoa: 'Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku ini fakir terhadap apa saja kebaikan yang Engkau turunkan.'” (Surah al-Qasas: 24)
Ungkapan yang Penuh Makna
Saya menerjemahkan ungkapan Nabi Musa a.s. di atas secara literal dengan kata aslinya, yaitu ‘fakir’. Banyak terjemahan Al-Qur’an yang didasarkan pada pilihan kata penterjemah, sehingga ayat-ayat Al-Qur’an diterjemahkan bukan berdasarkan ungkapan aslinya, tetapi lebih kepada maksud yang dipahami oleh penterjemah tersebut. Dalam banyak kasus, cara ini telah menghilangkan keberagaman makna ayat-ayat Al-Qur’an dan keindahannya dalam bahasa Arab yang asli dan indah.
Dalam ayat di atas, Nabi Musa a.s. mengungkapkan betapa dirinya fakir terhadap segala kurniaan Allah. Maksudnya, Nabi Musa a.s. merasa sangat fakir atau sangat membutuhkan segala kebaikan yang akan Allah berikan kepadanya untuk menghadapi situasi dirinya saat itu.
Dalam bahasa Al-Qur’an yang indah, Allah meriwayatkan ucapan Musa a.s. itu dengan berbunyi:
“Rabbi inni lima anzalta ilaiya min khairin faqir”
Sangat ringkas, tetapi sangat bermakna. Ucapan asli Musa a.s. sudah tentu dalam bahasa Ibrani, namun Allah telah mengabadikannya dalam bahasa Arab yang padat dan indah.
Kebaikan yang Beragam
Sebagian ahli tafsir menyebut bahwa maksud kata ‘khair’ (kebaikan) dalam doa Nabi Musa a.s. adalah makanan. Namun, kata ‘khair’, yang digunakan dalam bentuk nakirah (tidak terdefinisi), memiliki makna yang sangat luas. Tidak hanya merujuk pada makanan atau minuman, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang membawa manfaat kepada manusia.
Setelah Nabi Musa a.s. memanjatkan doa tersebut, Allah memberikan berbagai limpahan kebaikan kepadanya. Ayat-ayat selanjutnya dalam Surah al-Qasas menceritakan bagaimana kedua gadis tersebut kembali menemui Nabi Musa a.s. untuk mengundangnya ke rumah mereka atas permintaan ayah mereka.
Ayah mereka, seorang pria yang mulia, sangat berterima kasih kepada Nabi Musa a.s. atas bantuannya. Identitas ayah mereka tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Apakah dia Nabi Syu’aib atau bukan, tidak dapat dipastikan. Kemungkinan besar, ia bukan Nabi Syu’aib, seperti yang disangka sebagian penafsir. Sebab, jika ia adalah Nabi Syu’aib, masyarakat setempat tentu akan menghormati anak-anak gadisnya dengan lebih baik.
Apa pun yang terjadi, dari peristiwa itu, Nabi Musa a.s. diberikan tempat perlindungan, makanan, pekerjaan, bahkan dinikahkan dengan salah satu dari gadis tersebut. Demikianlah Allah mengabulkan doa Nabi Musa a.s. yang ringkas tetapi penuh makna.
Doa ini dilafazkan dengan jiwa yang benar-benar tunduk, berserah diri sepenuhnya, dan yakin bahwa Allah akan menjawab permohonan hamba-Nya yang bergantung hanya kepada-Nya.
Hikmah dari Ujian
Nabi Musa a.s. berjalan jauh membawa perasaan bimbang dan beban ancaman dari musuh. Ujian ini memaksanya yang pernah hidup di istana berubah menjadi seorang pelarian tanpa bekal. Namun, dalam ujian itu, Nabi Musa a.s. mengalami pengalaman hidup yang luar biasa dan menerima banyak kurniaan besar. Tanpa ujian tersebut, hal-hal itu tidak akan terjadi. Demikian pula, jika kita membaca doa-doa yang menyentuh hati dan jiwa, yang dilafazkan oleh insan-insan soleh dalam Al-Qur’an—baik dari kalangan para nabi maupun lainnya—kita mendapati bahwa sebagian besar doa itu diungkapkan dalam situasi getir dan ujian yang penuh tantangan.
Kita sendiri, dalam kehidupan ini, mungkin tidak akan menghafal banyak doa dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah kecuali setelah melewati kejadian-kejadian dalam hidup yang memaksa kita untuk tadarru’ (merendahkan diri), tunduk, dan mengakui dengan sepenuh jiwa kebesaran Allah yang Maha Menguasai segala urusan kehidupan. Banyak ujian dalam hidup sebenarnya memiliki makna yang sangat mendalam jika kita mau merenungkannya.
Betapa banyak orang yang menemukan iman dan amal saleh justru karena ujian yang menimpanya. Berapa banyak manusia yang sebelumnya sombong dan takabur, tidak mau ditegur atau dididik, akhirnya menjadi pribadi yang rendah hati kepada Allah dan menghargai orang lain setelah melewati ujian hidup yang berat. Betapa banyak pula orang saleh yang disayangi Allah, dinaikkan derajatnya, dan dimuliakan di sisi-Nya berkat ujian yang menimpa mereka.
Allah berfirman:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ ١٥٧
(Artinya)
"Demi sesungguhnya Kami akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka berkata, 'Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.' Mereka itulah orang-orang yang memperoleh pujian dari Tuhan mereka, rahmat-Nya; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Surah al-Baqarah: 155-157)
Kita Tidak Meminta Ujian, tetapi Ujian Adalah Bagian Hidup
Kita tidak meminta ujian, tetapi kita harus selalu menyadari bahwa ujian adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Ujian bagaikan bicara atau 'sapaan' Allah kepada kita agar kita mengingat apa yang telah kita lupakan, memperbaiki kesalahan, atau menambah pahala dan menghapus dosa. Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَا مِنْ شَىْءٍ يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ حَتَّى الشَّوْكَةِ تُصِيبُهُ إِلاَّ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ
"Tidak ada sesuatu pun yang menimpa seorang mukmin, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah mencatatkan untuknya kebaikan (pahala) atau menghapus darinya dosa.” (Riwayat Muslim).
Melihat manusia yang sedang diuji seharusnya membuat kita rendah hati dan insaf. Bisa jadi orang yang dipandang oleh orang lain sedang dalam keadaan sulit sebenarnya sedang tenggelam dalam rahmat dan kasih sayang Tuhan. Melihat mereka yang dalam kesusahan, dizalimi, dalam kesempitan, atau menderita sakit dapat membuat kita merenung: “Mungkin dia di sisi Allah lebih baik daripada diriku ini.”
Ujian Sebagai Didikan Allah
Kita semua akan melalui 'bicara dan didikan Tuhan' melalui ujian-ujian kehidupan. Kita berharap bahwa ujian akan membawa kita menuju keadaan yang lebih baik. Ujian adalah jalan yang telah membawa Nabi Musa a.s. kepada berbagai kurniaan. Demikian pula, kita mengharapkan hal yang sama untuk diri kita yang hina. Karena itu, kita harus senantiasa merintih kepada Allah seperti yang dilakukan Nabi Musa a.s.:
رَبِّ إِنِّي لِمَآ أَنزَلۡتَ إِلَيَّ مِنۡ خَيۡرٖ فَقِيرٞ
"Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku ini fakir terhadap apa saja kebaikan yang Engkau turunkan." (Surah al-Qasas: 24)
------